Bab 3 Warna Itu Layaknya Pelangi.
“Aku akan tetap menjaga indahnya
cinta kita
Meski suatu saat
Pelangi tak lagi sanggup
Menjaga indah goresan warnanya”
“Selamat
sore.”
Suara
itu, batin Ve. Suara itu membuat segala kegaduhan diruang tunggu yang menjadi
satu dengan resepsionis mendadak senyap, dan seluruh pasang mata beralih ke
pintu dimana suara itu berasal.
Ve dan
seluruh orang yang berada disitu dibuat terpana. Kehadiran bos mereka dengan
penampilan baru. Lukas Nampak mengubah gaya rambunya. Rambut yang biasa
tergerai sebahu, atau di ikat kebelakang sekarang mendadak berubah menjadi
seperti orang yang baru saja menjalani wajib militer di Korea. Rambutnya cepak
nyaris botak.
“Astage
Kas, lu kenape? Lu ke Singapore atau Wamil di Korea, mendadak jadi ABRI gini?”
ceplos Farras.
Lukas
hanya tersenyum dan menjawab dengan ramah.
“Apa
kabar? Ini hanya style aja. Aku belum pernah botakin rambut.”
“Semua
baik pak. Segalanya berjalan lancar selama tidak ada Bapak.” Sahut Marry.
Mereka
mengobrol, dan Lukas membagikan beberapa oleh-oleh coklat kepada karyawannya.
Ve hanya duduk terdiam dan sesekali tersenyum menimpali percakapan mereka. Ada
sesuatu yang mendesak-desak dalam hatinya, seribu pertanyaan yang ingin di
tujukan pada Lukas. Ada apa dengan bosnya? Ve merasa bosnya benar-benar aneh.
Selama bekerja disini, tak sekalipun Lukas merubah gaya rambutnya, selalu
gondrong tanggung. Dan kepergiaanya selama seminggu membuatnya bertanya dan
ingin tahu, kenapa dan untuk apa Lukas keluar negeri.
Setelah
semua basa-basi itu selesai, dan satu persatu karyawannya pulang, Lukas
menghampiri Ve yang masih membereskan berkas.
“Hai…
“ sapanya canggung.
“Ya?”
Ve mengangkat wajahnya, mendapati Lukas menyapanya dengan canggung. Secanggung
anak SMP yang ingin menembak gebetannya. Malu dan grogi.
“Gimana
dengan kelasku?”
“Seperti
kata Marry, semua baik-baik saja dan berjalan dengan lancar.”
“Sebagai
ucapan terimakasih, aku tunggu kamu di mobil. Kita makan malam.”
Lukas
pergi begitu saja keluar kantor setelah berkata dan sebelum Ve menjawab
‘Baiklah’ atau ‘Maaf aku tidak bisa’. Ve mengerutkan keningnya. Astaga, dia memang bosku tapi aku bukan
pesuruhnya diluar jam kerja!! Batin Ve.
Sebelum
Ve melangkah keluar menghampiri Lukas, seseorang datang menemuinya di depan
pintu kantor.
“Hai
Lubna…” sapa Ve agak terkejut melihat siapa yang sedang berdiri dihadapan Ve.
“Sekali
lagi gue ingetin, lu sebaiknya jauhin abang gue. Gue kasian liat dia selalu
diomelin papi. Please kak, lu cantik, banyak yang mau.” Lubna bicara tanpa
basa-basi.
“Masalahnya
nggak segampang itu Lub…” Ve mendesah pelan. Dua kali sudah adik Vino datang
menemuinya.
“Itu
dia masalahnya kak, lu nggak pernah benar-benar sayang sama abang gue. Makanya
lu nggak kasihan dia diomelin papi terus gara-gara ngedeketin lu!!!” Lubna
berlari pergi menahan tangis.
Ini bukan
yang pertama. Sudah dua kali adik Vino mendatanginya. Pertama dirumah dan
sekarang ditempat kerjanya. Ve tidak bisa menahan airmata. Tidak mungkin Lubna
malam-malam mencarinya, jika Vino tidak habis bertengkar dengan ayahnya. Ve
memang belum pernah mendengar sendiri, tapi dari cerita Lubna, ayahnya memang
tidak menyukai Ve. Ve adalah seorang musisi, atau lebih tepatnya menyukai
music, bahkan music menjadi pekerjaanya, sedangkan Vino terlahir dari keluarga
yang sangat mendalami islam, dan ayahnya berpendapat bahwa music haram didalam
islam. Mungkin itu sebabnya Vino tidak bisa memainkan alat music apa-apa, dan
kurang menyukai ketika melihat Ve beraksi dipanggung mendampingi teman-tamannya
ataupun bermain music didepannya.
Dan itulah yang menjadi sebab
Vino tak pernah sekalipun mengajak Ve kerumahnya, hanya sekali selama 6 tahun
ini Ve datang kerumahnya, itupun ketika ayahnya diluar kota dan Vino sedang
sakit, Ve bermaksud menjenguknya. Ya, itu saja. Tak pernah lagi Ve datang
kerumah Vino.
Kedatangan
Lubna, semakin membuat batinnya tersiksa bahkan selama setahun terakhir ini. Ve
merasa perlu menjauhi Vino, tapi ternyata Ve salah, Vino tidak pernah menyerah
membuatnya luluh dan justru terus menerus membuatnya tak mampu melakukan apapun
tanpa Vino dalam hidupnya. Vino tak pernah menyerah untuk tetap membuatnya
merasa seperti putri, satu-satunya wanita yang dicintainya bahkan melebihi
dirinya sendiri.
Dan
ketika Ve mulai siap untuk menghadapi semua kembali, sekarang adik Vino muncul
kembali dan bersikeras melarangnya berhubungan dengan Vino. Satu-satunya hal
yang membuat Ve merasa takut adalah saat dia harus kehilangan Vino. Itu
sebabnya belakangan hatinya semakin gamang saat Vino selalu memperlakukannya
seperti seorang putri.
Ve
menghelai nafas dan menyeka air matanya. Lukas mungkin sudah lama menunggu.
Bagaimanapun Lukas masih menunggunya dimobil.
Dari
kejauhan Lukas melihat Ve berjalan menghampirinya, Lukas memang terbiasa
memarkirkan mobil agak jauh, karena parkiran didepan kantornya selalu penuh dengan
mobil-mobil orangtua murid.
Lukas
menatap Ve yang terus menunduk. Gadis itu, gadis yang selalu membuatnya
semangat saat menatap gitar. Memberikan banyak inspirasi yang tak pernah
dimilikinya setelah menyadari keadaan tubuhnya 2 tahun yang lalu. Saat melihat
Ve berada dikantornya, Lukas merasa segalanya akan baik-baik saja. Saat tidak
ada dirinya sekalipun.
“Apa
kamu membantu bang Asep dulu mengepel didalam?” Tanya Lukas saat jarak mereka
tinggal 3 meter. Lukas sudah menunggu duduk di kap mobil daritadi.
“Apa?!”
Ve mengangkat wajahnya dan sedikit melotot.
“Lama
sekali.” Gerutu Lukas.
“Kalau
tidak sabar, kenapa tidak pergi saja daritadi.” Ve sedikit kesal.
Lukas berjalan kearah pintu dan
membukakannya.
“Masuklah.”
Perintahnya.
Ve
menggerutu tak jelas. Dalam hati Lukas tertawa. Mudah sekali memancing emosi
gadis ini. Entah bagaimana bisa dia begitu sabar menghadapi anak-anak. Yang
pasti Ve tak pernah ramah menghadapinya. Dan hal itulah yang membuatnya suka.
Tak seperti kebanyakan gadis, yang selalu saja sok ramah dihadapannya. Lukas
berjalan kearah kemudi, dan menancap gas. Membawa Ve pergi.
Sepasang
mata menyaksikan semua.
Ve hanya
menunduk. Bingung harus bicara apa disaat hatinya merasa tidak nyaman. Disaat
segalanya terasa menghimpit pikirannya. Kata-kata Lubna kembali terbayang dan
terdengar dihatinya.
“Itu
dia masalahnya kak, lu nggak pernah benar-benar sayang sama abang gue. Makanya
lu nggak kasihan dia diomelin papi terus gara-gara ngedeketin lu!!!”
“Haallloooo…???
aku bicara sama kamu, apa kamu nggak dengar?” suara Lukas agak membesar dan
membuyarkan seketika lamunan Ve.
“Oh
iya, sorry. Tadi bilang apa?” ve mengangkat wajahnya dan menatap bertanya pada
Lukas.
Lukas
menoleh kearahnya, menatapnya untuk sekian detik. Hingga Ve salah tingkah. Dan
kembali menunduk.
“Apa
kamu baik-baik saja?” Tanya Lukas setelah melihat perubahan diwajah Ve, bukan
wajahnya yang merah merona yang membuatnya bertanya, tapi Lukas tahu, gadis itu
belum lama habis menangis.
“Ya,
aku baik-baik saja. Aku hanya lapar.” Ve mencoba menutupi kesedihannya.
“Baiklah,
sepertinya rasa laparmu terlalu berbahaya, sampai membuat menangis, dan tidak
menganggap suaraku ada, memangnya sudah berapa hari kamu tidak makan?” Tanya
Lukas tanpa beban.
“Apa?!!”
Tanya Ve sedikit melotot.
“Oh
baiklah sepertinya kamu benar-benar kelaparan sampai-sampai pendengaranmu pun terganggu.”
“Aaaoowwwhhh…”
Ve kehabisan kata-kata, merasa kesal, atau sangat kesal.
“Menyebalkan
sekali.” Gumamnya lirih.
Dalam
hati Lukas tertawa kecil. Dia segera memarkirkan mobil Lexusnya didepan sebuah
restoran barat.
“Kita
makan pasta, kuharap kamu suka.” Katanya dan bergegas turun.
Rasa
lapar diperut Ve semakin tak tertahan, mengingat betapa sukanya dia terhadap
pasta dan masakan Italia lainnya.
Mereka
duduk berhadapan disebuah bangku yang menghadap taman mungil disamping restoran
itu, taman itu memiliki selasar-selasar yang mengelilingi kolam kecil dan
ditumbuhi Nymphaea caereulea atau the blue water lily yang sangat menawan
dan ditengahnya terdapat patung anak-anak gendut semacam Manequin Piss legenda negeri Belgia yang menyemprotkan air mancur
sepanjang waktu dari kemaluan kecilnya yang lucu. Melihat suasana seperti itu
hati Ve mulai sedikit luluh. Sedikit menikmati Lily membuatnya merasa menjadi
lebih baik.
Seorang
pelayan datang membawakan dua buah buku menu kepada mereka. Ve membaca deretan
kata-kata dalam bahasa Itali. Ya restoran itu memang bernuansa Itali. Lukas
tanpa bertanya kepadanya akan memesan makanan apa, tiba-tiba dia sudah
menunjukkan apa yang akan dipesan dalam dua porsi. Ve kembali melongo
dibuatnya. Ve tidak mengerti apakah laki-laki dihadapannya memiliki etika atau
tidak.
Suasana
hanya hening, tak sampai lima menit pelayan itu sudah datang membawakan
berpiring-piring makanan.
“Baiklah,
mari kita makan. Anggap saja ini rasa terimakasihku karena kamu sudah banyak
membantu murid-murid dikelasku.” Kata Lukas sembari tersenyum sok ramah.
“Menyebalkan!!”
Gumam Ve.
“Kita
mulai dari ini, namanya Pumkin and
Gorgonzola soup, sebenarnya ini makanan pembuka sebagai perangsang rasa
lapar, tapi sepertinya kamu tidak butuh perangsang lagi ya… hahaha..” Lukas
tertawa dengan puas.
“Sangat
menyebalkan!!” Gumam Ve lagi.
“Dan ini
adalah maincourse, namanya Caesan Salad,
Chiken Cordon Bleu, Vitello alla Povenzale, dan Dessertnya Creamy cheesecake topped with strawberry
puree, kalau ini… “
Lukas
berhenti menjelaskan ketika dia menyadari kalau Ve sudah dengan nikmat
menyantap makanan yang ada dihadapannya.
“Aku
tidak peduli apa namanya, aku tidak akan kenyang hanya dengan tau
nama-namanya.” Dan Ve melanjutkan makan. Music Mozart mengalun. Dan Ve sudah
tidak memperdulikan lagi apa yang dibicarakan Lukas ataupun apa yang sedang
mengalun disekelilingnya.
Dalam
hati Lukas semakin tertawa. Menyaksikan Ve kelaparan dihadapannya. Dan tertawa
karena merasa bahagia bisa membuat entah apa yang tadi sempat membuat gadis itu
menangis sedikit terlupakan.
‘Lukas
salah jika mengira sudah mampu menghiburku.’ Batin Ve. ‘Menyebalkan sekali!! Aku memang bukan
seorang putri, tapi aku juga bukan Cinderella!! Seenaknya saja memerintah
ini-itu, dan memberiku imbalan seolah-olah aku adaalah budaknya!!’ Ve terus saja mengomel dalam hati, walau dia
tetap diam menikmati segala pasta yang ada dihadapannya dan harus mengakui 3
hal, pertama bahwa makanan itu memang enak, kedua bahwa Lukas memang bosnya,
dan tentu saja dia barhak memerintah, dan yang ketiga bahwa Lukas membuatnya
sedikit melupakan kesedihan.
“Mau
jadi apa kalau dia jadi istrimu kelak!! Kamu mau beristrikan rockstar?!! Yang
mempunyai skandal dimana-mana? Kamu itu laki-laki, tidak seharusnya
diperlakukan seperti itu!!” teriak ayah Vino.
“Tapi
Ve bukan gadis seperti itu Pi !!” Teriak Vino tak kalah sengit. Walau ada nada
memelas dalam kata-katanya.
“Baca
lagi hadist-hadist Nabi, Vino!! Tertulis jelas bahwa music itu diharamkan!!”
“Dihadist
apa dan riwayat siapa semua itu dikatakan Pi?!!” Vino mulai membantah.
“NGENGKEL
KAMU YA SEKARANG!!!” Ayahnya sudah mengangkat tangan.
“PAAAPIII…”
Teriak ibu dan Lubna adiknya.
Ibunya
menangis melihat ayahnya tersengal-sengal menahan nafas. Ayah Vino belum lama
sembuh dari stroke bahkan sekarang masih menggunakan kursi roda. Sebab itulah
Vino menggantikan memimpin perusahaanya. Ada rasa bersalah melihat keadaan
ayahnya yang sekarang, sebab Vinolah yang membuat ayahnya terkena serangan
stroke 2 tahun yang lalu.
“Maafin Vino Pi..” Vino merasa sangat bersalah dan pergi
masuk kedalam kamarnya. Lubna merasa sangat sedih dan berlari keluar rumah.