Rabu, 31 Juli 2013
Rabu, 24 Juli 2013
Just Afraid
Sebenarnya aku takut..
Melewati malam-malam tanpamu
Sebenarnya aku takut...
Menjalani waktu tak bersamamu..
Sebenarnya aku takut...
kehilangan satu moment pun untuk tak melihatmu beranjak tua
Sebenarnya aku takut...
jika harus sendiri
Sebenarnya aku takut...
untuk bilang 'aku tak mau pisah dari kamu, walau itu hanya sementara...'
Melewati malam-malam tanpamu
Sebenarnya aku takut...
Menjalani waktu tak bersamamu..
Sebenarnya aku takut...
kehilangan satu moment pun untuk tak melihatmu beranjak tua
Sebenarnya aku takut...
jika harus sendiri
Sebenarnya aku takut...
untuk bilang 'aku tak mau pisah dari kamu, walau itu hanya sementara...'
Menulis Sejarah Tulisan
Lama tidak menulis, membuat saya ketika menemukan kembali ruang untuk menulis menjadi seorang pecandu menemukan obatnya.
Terimakasih pada suami saya, yang berinisiatif menghidupkan kembali modem keomputer kami yang sudah lama 'tertidur'.
Berbekal 40 ribu rupiah, modem itu kembali terbangun, dengan kuota 2 GB kami sama-sama menelusuri hobi yang berbeda tapi sama-sama lama tak tersentuh.
Sebenarnya kebiasaan menulis sudah saya miliki sejak sekolah dasar kelas 4, ketika umur saya masih 8 tahun. Tulisan saya yang pertama berjudul 'Ternyata Cuma Mimpi', diatas buku tulis yang tak terpakai karena tipisnya. Tipis karena sering kali di sobek, dijadikan kertas ulangan yang kala itu setiap ulangan mengharuskan murid menyobek kertas dari buku tulisnya.
Saya masih ingat, bahwa tulisan itu saya niatkan menjadi 'cerpen', meski ketika SMP dan saya membacanya kembali kemudian tertawa terpingkal-pingkal dan menyadari bahwa tulisan itu benar-benar memalukan untuk saya beri label 'cerpen'.
Tulisan yang hanya 15 baris itu membuat saya tersadar, bahwa hakekatnya saya menulis bukan untuk siapapun, melainkan untuk diri saya sendiri saat itu, hari itu.
Terserah saya mau menjadi apa dan menulis apa. Saya tidak mengharapkan pujian orang, ataupun menjadi terkenal. Yang terlintas ketika saya menulis adalah saya ingin menjadi jiwa saya, saya ingin berkenalan dengan siapa saya lewat tulisan tersebut.
Seperti yang digambarkan Charles Bukowski menulis itu adalah sebagai sesuatu yang datang tanpa diminta, keluar dari hatimu dan dari muntahmu... ia melesat dari jiwamu seperti sebuah roket! (....that comes unasked out of your heart and your mind and your mouth and your gut... it comes out of your soul like a rocket!)>
Dan saya sangat setuju dengan Amitav Gosh, salah satu penulis dunia : "Pada dasarnya saya hanya menuliskan buku yang ingin saya baca."
Saya benar-benar menyesali karena tidak mampu menyelamatkan tulisan tangan mungil saya, karena kepindahan sekolah dan tak sempat mengurusnya, akhirnya tulisan itu terdampar ke tangan tukang loak, karena nenek saya menjualnya bersama tumpukkan buku-buku saya yang lainnya.
Terkadang saya ingin menangisi kepergian buku-buku masa kecil saya, 'Mereka' saya beli dari hasil menabung rupiah demi rupiah, walau sebagian bedar dari buku itu adalah majalah. Majalah bobo, Ina, Belia, apapun saya beli waktu itu dan tak sedikit juga buku dongeng.
Dengan uang jajan 500 rupiah (kenaikan uang jajan saya dari 150 rupiah menjadi 500 rupiah karena terjadi krisis saat itu, hingga 150 menjadi sangat kecil nilainya) yang masih harus saya sisihkan demi membeli 'Mereka' walau dalam keadaan bekas.
Betapa saya sangat berterimakasih kepada 'Mereka' yang telah membuat saya 'lebih tahu' dibandingkan dengan anak-anak lainnya yang seusia saya waktu itu.
Saat mereka masih asik dengan film Ninja Hatori atau Si Doel Anak Sekolahan, maka saya sudah membayangkan film Ace Age dan The Lord of The Ring.
Melalui majalah Bobo, saya mengenal film-film itu, dan saya tahu apa yang menjadi cerita dalam film itu sebelum saya menontonnya.
Karena ketiadaan bioskop di tempat saya waktu itu, akhirnya saya baru bisa menonton film-film itu ketika beranjak remaja dan itupun hanya di televisi.
Bagaimanapun saya sangat mensyukuri dan berterimakasih atas keberadaan 'Mereka' yang mampu membangkitkan imajinasi saya, sehingga akhirnya hobi menulis saya ada, hingga hari ini.
Terimakasih pada suami saya, yang berinisiatif menghidupkan kembali modem keomputer kami yang sudah lama 'tertidur'.
Berbekal 40 ribu rupiah, modem itu kembali terbangun, dengan kuota 2 GB kami sama-sama menelusuri hobi yang berbeda tapi sama-sama lama tak tersentuh.
Sebenarnya kebiasaan menulis sudah saya miliki sejak sekolah dasar kelas 4, ketika umur saya masih 8 tahun. Tulisan saya yang pertama berjudul 'Ternyata Cuma Mimpi', diatas buku tulis yang tak terpakai karena tipisnya. Tipis karena sering kali di sobek, dijadikan kertas ulangan yang kala itu setiap ulangan mengharuskan murid menyobek kertas dari buku tulisnya.
Saya masih ingat, bahwa tulisan itu saya niatkan menjadi 'cerpen', meski ketika SMP dan saya membacanya kembali kemudian tertawa terpingkal-pingkal dan menyadari bahwa tulisan itu benar-benar memalukan untuk saya beri label 'cerpen'.
Tulisan yang hanya 15 baris itu membuat saya tersadar, bahwa hakekatnya saya menulis bukan untuk siapapun, melainkan untuk diri saya sendiri saat itu, hari itu.
Terserah saya mau menjadi apa dan menulis apa. Saya tidak mengharapkan pujian orang, ataupun menjadi terkenal. Yang terlintas ketika saya menulis adalah saya ingin menjadi jiwa saya, saya ingin berkenalan dengan siapa saya lewat tulisan tersebut.
Seperti yang digambarkan Charles Bukowski menulis itu adalah sebagai sesuatu yang datang tanpa diminta, keluar dari hatimu dan dari muntahmu... ia melesat dari jiwamu seperti sebuah roket! (....that comes unasked out of your heart and your mind and your mouth and your gut... it comes out of your soul like a rocket!)>
Dan saya sangat setuju dengan Amitav Gosh, salah satu penulis dunia : "Pada dasarnya saya hanya menuliskan buku yang ingin saya baca."
Saya benar-benar menyesali karena tidak mampu menyelamatkan tulisan tangan mungil saya, karena kepindahan sekolah dan tak sempat mengurusnya, akhirnya tulisan itu terdampar ke tangan tukang loak, karena nenek saya menjualnya bersama tumpukkan buku-buku saya yang lainnya.
Terkadang saya ingin menangisi kepergian buku-buku masa kecil saya, 'Mereka' saya beli dari hasil menabung rupiah demi rupiah, walau sebagian bedar dari buku itu adalah majalah. Majalah bobo, Ina, Belia, apapun saya beli waktu itu dan tak sedikit juga buku dongeng.
Dengan uang jajan 500 rupiah (kenaikan uang jajan saya dari 150 rupiah menjadi 500 rupiah karena terjadi krisis saat itu, hingga 150 menjadi sangat kecil nilainya) yang masih harus saya sisihkan demi membeli 'Mereka' walau dalam keadaan bekas.
Betapa saya sangat berterimakasih kepada 'Mereka' yang telah membuat saya 'lebih tahu' dibandingkan dengan anak-anak lainnya yang seusia saya waktu itu.
Saat mereka masih asik dengan film Ninja Hatori atau Si Doel Anak Sekolahan, maka saya sudah membayangkan film Ace Age dan The Lord of The Ring.
Melalui majalah Bobo, saya mengenal film-film itu, dan saya tahu apa yang menjadi cerita dalam film itu sebelum saya menontonnya.
Karena ketiadaan bioskop di tempat saya waktu itu, akhirnya saya baru bisa menonton film-film itu ketika beranjak remaja dan itupun hanya di televisi.
Bagaimanapun saya sangat mensyukuri dan berterimakasih atas keberadaan 'Mereka' yang mampu membangkitkan imajinasi saya, sehingga akhirnya hobi menulis saya ada, hingga hari ini.
Senin, 22 Juli 2013
Love Quotes "Fahd in Eye Cat"
Ada yang Kau tunda: KebahagiaanFrom : Fahd Djibran
Ada yang Kau nyalakan: Harapan
Ada yang Kau tunggu: Kesabaran
: Tuhan, aku tetap bersamaMu
dan baik-baik saja
When Love Is Blind part 3 (Warna Itu Layaknya Pelangi)
Bab 3 Warna Itu Layaknya Pelangi.
“Aku akan tetap menjaga indahnya
cinta kita
Meski suatu saat
Pelangi tak lagi sanggup
Menjaga indah goresan warnanya”
“Selamat
sore.”
Suara
itu, batin Ve. Suara itu membuat segala kegaduhan diruang tunggu yang menjadi
satu dengan resepsionis mendadak senyap, dan seluruh pasang mata beralih ke
pintu dimana suara itu berasal.
Ve dan
seluruh orang yang berada disitu dibuat terpana. Kehadiran bos mereka dengan
penampilan baru. Lukas Nampak mengubah gaya rambunya. Rambut yang biasa
tergerai sebahu, atau di ikat kebelakang sekarang mendadak berubah menjadi
seperti orang yang baru saja menjalani wajib militer di Korea. Rambutnya cepak
nyaris botak.
“Astage
Kas, lu kenape? Lu ke Singapore atau Wamil di Korea, mendadak jadi ABRI gini?”
ceplos Farras.
Lukas
hanya tersenyum dan menjawab dengan ramah.
“Apa
kabar? Ini hanya style aja. Aku belum pernah botakin rambut.”
“Semua
baik pak. Segalanya berjalan lancar selama tidak ada Bapak.” Sahut Marry.
Mereka
mengobrol, dan Lukas membagikan beberapa oleh-oleh coklat kepada karyawannya.
Ve hanya duduk terdiam dan sesekali tersenyum menimpali percakapan mereka. Ada
sesuatu yang mendesak-desak dalam hatinya, seribu pertanyaan yang ingin di
tujukan pada Lukas. Ada apa dengan bosnya? Ve merasa bosnya benar-benar aneh.
Selama bekerja disini, tak sekalipun Lukas merubah gaya rambutnya, selalu
gondrong tanggung. Dan kepergiaanya selama seminggu membuatnya bertanya dan
ingin tahu, kenapa dan untuk apa Lukas keluar negeri.
Setelah
semua basa-basi itu selesai, dan satu persatu karyawannya pulang, Lukas
menghampiri Ve yang masih membereskan berkas.
“Hai…
“ sapanya canggung.
“Ya?”
Ve mengangkat wajahnya, mendapati Lukas menyapanya dengan canggung. Secanggung
anak SMP yang ingin menembak gebetannya. Malu dan grogi.
“Gimana
dengan kelasku?”
“Seperti
kata Marry, semua baik-baik saja dan berjalan dengan lancar.”
“Sebagai
ucapan terimakasih, aku tunggu kamu di mobil. Kita makan malam.”
Lukas
pergi begitu saja keluar kantor setelah berkata dan sebelum Ve menjawab
‘Baiklah’ atau ‘Maaf aku tidak bisa’. Ve mengerutkan keningnya. Astaga, dia memang bosku tapi aku bukan
pesuruhnya diluar jam kerja!! Batin Ve.
Sebelum
Ve melangkah keluar menghampiri Lukas, seseorang datang menemuinya di depan
pintu kantor.
“Hai
Lubna…” sapa Ve agak terkejut melihat siapa yang sedang berdiri dihadapan Ve.
“Sekali
lagi gue ingetin, lu sebaiknya jauhin abang gue. Gue kasian liat dia selalu
diomelin papi. Please kak, lu cantik, banyak yang mau.” Lubna bicara tanpa
basa-basi.
“Masalahnya
nggak segampang itu Lub…” Ve mendesah pelan. Dua kali sudah adik Vino datang
menemuinya.
“Itu
dia masalahnya kak, lu nggak pernah benar-benar sayang sama abang gue. Makanya
lu nggak kasihan dia diomelin papi terus gara-gara ngedeketin lu!!!” Lubna
berlari pergi menahan tangis.
Ini bukan
yang pertama. Sudah dua kali adik Vino mendatanginya. Pertama dirumah dan
sekarang ditempat kerjanya. Ve tidak bisa menahan airmata. Tidak mungkin Lubna
malam-malam mencarinya, jika Vino tidak habis bertengkar dengan ayahnya. Ve
memang belum pernah mendengar sendiri, tapi dari cerita Lubna, ayahnya memang
tidak menyukai Ve. Ve adalah seorang musisi, atau lebih tepatnya menyukai
music, bahkan music menjadi pekerjaanya, sedangkan Vino terlahir dari keluarga
yang sangat mendalami islam, dan ayahnya berpendapat bahwa music haram didalam
islam. Mungkin itu sebabnya Vino tidak bisa memainkan alat music apa-apa, dan
kurang menyukai ketika melihat Ve beraksi dipanggung mendampingi teman-tamannya
ataupun bermain music didepannya.
Dan itulah yang menjadi sebab
Vino tak pernah sekalipun mengajak Ve kerumahnya, hanya sekali selama 6 tahun
ini Ve datang kerumahnya, itupun ketika ayahnya diluar kota dan Vino sedang
sakit, Ve bermaksud menjenguknya. Ya, itu saja. Tak pernah lagi Ve datang
kerumah Vino.
Kedatangan
Lubna, semakin membuat batinnya tersiksa bahkan selama setahun terakhir ini. Ve
merasa perlu menjauhi Vino, tapi ternyata Ve salah, Vino tidak pernah menyerah
membuatnya luluh dan justru terus menerus membuatnya tak mampu melakukan apapun
tanpa Vino dalam hidupnya. Vino tak pernah menyerah untuk tetap membuatnya
merasa seperti putri, satu-satunya wanita yang dicintainya bahkan melebihi
dirinya sendiri.
Dan
ketika Ve mulai siap untuk menghadapi semua kembali, sekarang adik Vino muncul
kembali dan bersikeras melarangnya berhubungan dengan Vino. Satu-satunya hal
yang membuat Ve merasa takut adalah saat dia harus kehilangan Vino. Itu
sebabnya belakangan hatinya semakin gamang saat Vino selalu memperlakukannya
seperti seorang putri.
Ve
menghelai nafas dan menyeka air matanya. Lukas mungkin sudah lama menunggu.
Bagaimanapun Lukas masih menunggunya dimobil.
Dari
kejauhan Lukas melihat Ve berjalan menghampirinya, Lukas memang terbiasa
memarkirkan mobil agak jauh, karena parkiran didepan kantornya selalu penuh dengan
mobil-mobil orangtua murid.
Lukas
menatap Ve yang terus menunduk. Gadis itu, gadis yang selalu membuatnya
semangat saat menatap gitar. Memberikan banyak inspirasi yang tak pernah
dimilikinya setelah menyadari keadaan tubuhnya 2 tahun yang lalu. Saat melihat
Ve berada dikantornya, Lukas merasa segalanya akan baik-baik saja. Saat tidak
ada dirinya sekalipun.
“Apa
kamu membantu bang Asep dulu mengepel didalam?” Tanya Lukas saat jarak mereka
tinggal 3 meter. Lukas sudah menunggu duduk di kap mobil daritadi.
“Apa?!”
Ve mengangkat wajahnya dan sedikit melotot.
“Lama
sekali.” Gerutu Lukas.
“Kalau
tidak sabar, kenapa tidak pergi saja daritadi.” Ve sedikit kesal.
Lukas berjalan kearah pintu dan
membukakannya.
“Masuklah.”
Perintahnya.
Ve
menggerutu tak jelas. Dalam hati Lukas tertawa. Mudah sekali memancing emosi
gadis ini. Entah bagaimana bisa dia begitu sabar menghadapi anak-anak. Yang
pasti Ve tak pernah ramah menghadapinya. Dan hal itulah yang membuatnya suka.
Tak seperti kebanyakan gadis, yang selalu saja sok ramah dihadapannya. Lukas
berjalan kearah kemudi, dan menancap gas. Membawa Ve pergi.
Sepasang
mata menyaksikan semua.
Ve hanya
menunduk. Bingung harus bicara apa disaat hatinya merasa tidak nyaman. Disaat
segalanya terasa menghimpit pikirannya. Kata-kata Lubna kembali terbayang dan
terdengar dihatinya.
“Itu
dia masalahnya kak, lu nggak pernah benar-benar sayang sama abang gue. Makanya
lu nggak kasihan dia diomelin papi terus gara-gara ngedeketin lu!!!”
“Haallloooo…???
aku bicara sama kamu, apa kamu nggak dengar?” suara Lukas agak membesar dan
membuyarkan seketika lamunan Ve.
“Oh
iya, sorry. Tadi bilang apa?” ve mengangkat wajahnya dan menatap bertanya pada
Lukas.
Lukas
menoleh kearahnya, menatapnya untuk sekian detik. Hingga Ve salah tingkah. Dan
kembali menunduk.
“Apa
kamu baik-baik saja?” Tanya Lukas setelah melihat perubahan diwajah Ve, bukan
wajahnya yang merah merona yang membuatnya bertanya, tapi Lukas tahu, gadis itu
belum lama habis menangis.
“Ya,
aku baik-baik saja. Aku hanya lapar.” Ve mencoba menutupi kesedihannya.
“Baiklah,
sepertinya rasa laparmu terlalu berbahaya, sampai membuat menangis, dan tidak
menganggap suaraku ada, memangnya sudah berapa hari kamu tidak makan?” Tanya
Lukas tanpa beban.
“Apa?!!”
Tanya Ve sedikit melotot.
“Oh
baiklah sepertinya kamu benar-benar kelaparan sampai-sampai pendengaranmu pun terganggu.”
“Aaaoowwwhhh…”
Ve kehabisan kata-kata, merasa kesal, atau sangat kesal.
“Menyebalkan
sekali.” Gumamnya lirih.
Dalam
hati Lukas tertawa kecil. Dia segera memarkirkan mobil Lexusnya didepan sebuah
restoran barat.
“Kita
makan pasta, kuharap kamu suka.” Katanya dan bergegas turun.
Rasa
lapar diperut Ve semakin tak tertahan, mengingat betapa sukanya dia terhadap
pasta dan masakan Italia lainnya.
Mereka
duduk berhadapan disebuah bangku yang menghadap taman mungil disamping restoran
itu, taman itu memiliki selasar-selasar yang mengelilingi kolam kecil dan
ditumbuhi Nymphaea caereulea atau the blue water lily yang sangat menawan
dan ditengahnya terdapat patung anak-anak gendut semacam Manequin Piss legenda negeri Belgia yang menyemprotkan air mancur
sepanjang waktu dari kemaluan kecilnya yang lucu. Melihat suasana seperti itu
hati Ve mulai sedikit luluh. Sedikit menikmati Lily membuatnya merasa menjadi
lebih baik.
Seorang
pelayan datang membawakan dua buah buku menu kepada mereka. Ve membaca deretan
kata-kata dalam bahasa Itali. Ya restoran itu memang bernuansa Itali. Lukas
tanpa bertanya kepadanya akan memesan makanan apa, tiba-tiba dia sudah
menunjukkan apa yang akan dipesan dalam dua porsi. Ve kembali melongo
dibuatnya. Ve tidak mengerti apakah laki-laki dihadapannya memiliki etika atau
tidak.
Suasana
hanya hening, tak sampai lima menit pelayan itu sudah datang membawakan
berpiring-piring makanan.
“Baiklah,
mari kita makan. Anggap saja ini rasa terimakasihku karena kamu sudah banyak
membantu murid-murid dikelasku.” Kata Lukas sembari tersenyum sok ramah.
“Menyebalkan!!”
Gumam Ve.
“Kita
mulai dari ini, namanya Pumkin and
Gorgonzola soup, sebenarnya ini makanan pembuka sebagai perangsang rasa
lapar, tapi sepertinya kamu tidak butuh perangsang lagi ya… hahaha..” Lukas
tertawa dengan puas.
“Sangat
menyebalkan!!” Gumam Ve lagi.
“Dan ini
adalah maincourse, namanya Caesan Salad,
Chiken Cordon Bleu, Vitello alla Povenzale, dan Dessertnya Creamy cheesecake topped with strawberry
puree, kalau ini… “
Lukas
berhenti menjelaskan ketika dia menyadari kalau Ve sudah dengan nikmat
menyantap makanan yang ada dihadapannya.
“Aku
tidak peduli apa namanya, aku tidak akan kenyang hanya dengan tau
nama-namanya.” Dan Ve melanjutkan makan. Music Mozart mengalun. Dan Ve sudah
tidak memperdulikan lagi apa yang dibicarakan Lukas ataupun apa yang sedang
mengalun disekelilingnya.
Dalam
hati Lukas semakin tertawa. Menyaksikan Ve kelaparan dihadapannya. Dan tertawa
karena merasa bahagia bisa membuat entah apa yang tadi sempat membuat gadis itu
menangis sedikit terlupakan.
‘Lukas
salah jika mengira sudah mampu menghiburku.’ Batin Ve. ‘Menyebalkan sekali!! Aku memang bukan
seorang putri, tapi aku juga bukan Cinderella!! Seenaknya saja memerintah
ini-itu, dan memberiku imbalan seolah-olah aku adaalah budaknya!!’ Ve terus saja mengomel dalam hati, walau dia
tetap diam menikmati segala pasta yang ada dihadapannya dan harus mengakui 3
hal, pertama bahwa makanan itu memang enak, kedua bahwa Lukas memang bosnya,
dan tentu saja dia barhak memerintah, dan yang ketiga bahwa Lukas membuatnya
sedikit melupakan kesedihan.
“Mau
jadi apa kalau dia jadi istrimu kelak!! Kamu mau beristrikan rockstar?!! Yang
mempunyai skandal dimana-mana? Kamu itu laki-laki, tidak seharusnya
diperlakukan seperti itu!!” teriak ayah Vino.
“Tapi
Ve bukan gadis seperti itu Pi !!” Teriak Vino tak kalah sengit. Walau ada nada
memelas dalam kata-katanya.
“Baca
lagi hadist-hadist Nabi, Vino!! Tertulis jelas bahwa music itu diharamkan!!”
“Dihadist
apa dan riwayat siapa semua itu dikatakan Pi?!!” Vino mulai membantah.
“NGENGKEL
KAMU YA SEKARANG!!!” Ayahnya sudah mengangkat tangan.
“PAAAPIII…”
Teriak ibu dan Lubna adiknya.
Ibunya
menangis melihat ayahnya tersengal-sengal menahan nafas. Ayah Vino belum lama
sembuh dari stroke bahkan sekarang masih menggunakan kursi roda. Sebab itulah
Vino menggantikan memimpin perusahaanya. Ada rasa bersalah melihat keadaan
ayahnya yang sekarang, sebab Vinolah yang membuat ayahnya terkena serangan
stroke 2 tahun yang lalu.
“Maafin Vino Pi..” Vino merasa sangat bersalah dan pergi
masuk kedalam kamarnya. Lubna merasa sangat sedih dan berlari keluar rumah. Minggu, 21 Juli 2013
Koin Yang Terabaikan
Kemarin, saat suami libur dua hari, kami hanya berada dirumah, tidak seperti hari-hari libur biasanya yang selalu membawa ide segar mau kemana dan mau apa. Mungkin karena memang kita sama-sama mempunyai 'pekerjaan rumah', suami yang membantu web kakaknya dengan menulis beberapa artikel, dan saya dengan deretan daftar blog yang ingin saya baca. Semua itu memang tidak sepantasnya disebut pekerjaan, tapi karena menurut saya semuanya memerlukan energi, pikiran, dan waktu maka saya sebut dengan 'pekerjaan'.
Siang hari, saat mata sama-sama lelah menatap layar dunia maya masing-masing, kami merebahkan badan. suami saya berhasil tidur siang hingga berjam-jam. Dan saya yang tidak memiliki hobi tidur siang, cuma bisa menatap layar ponsel sambil terus membaca blog.
Sebuah tulisan mengingatkan saya pada nilai rupiah dulu ketika saya bersekolah. Uang jajan yang saya terima pertama kali sekolah adalah Rp 150,-. Saat itu uang dengan nilai 150 rupiah adalah nilai yang terbilang cukup banyak, karena dengan 150 rupiah saya sudah bisa membeli beraneka makanan. sekolah yang memberikan waktu jeda pelajaran selama 2 kali itu membuat saya harus pandai mengatur uang. biasanya saya akan membeli donat meisis dan es kenyot pada istirahat pertama, dan akan membeli roti serta es limun di istirahat kedua. Terkadang 150 rupiah saya tidak habis, atau memang sengaja tidak saya habiskan, sebab jika dirumah nanti saya ingin jajan ibu saya sudah tidak akan memberikan uang lagi, sedangkan didepan rumah ketika sore sering sekali didatangi tukang-tukang jajanan keliling, es dung-dung adalah jajanan yang tidak pernah bisa saya hindari, dengan Rp 50,- saya sudah bisa menikmati segarnya es dicampur susu pada siang hari.
Mendadak suami saya bangun, dan saya menanyakan berapakah uang sakunya ketika kelas 1 SD. Ternyata suami mendapat uang saku 100 rupiah ketika SD, terbayang oleh saya uang dengan logam bertuliskan 100, atau selembar uang kertas berwarna merah muda bergambar perahu. Kami sama-sama membayangkan betapa indahnya nilai rupiah jaman dulu, hanya dengan selogam uang 100 rupiah sudah mengenyangkan perut. Suami lebih beruntung karena uang jajannya terus meningkat seiring dengan naik tingkat kelasnya, sedangkan saya tetap mendapa 150 rupiah sampai kelas 3, karena kelas 4 terjadilah krisis sehingga 150 rupiah seperti tidak memiliki nilai apa-apa.
Saya tiba-tiba teringat dengan sebuah kotak uang receh yang saya letakkan di sudut meja. Saya lupa sudah berapa lama kotak itu ada dan saya isi dengan koin-koin kembalian belanja ataupun ongkos busway. Seingat saya kotak itu baru berinisiatif saya isi belum sampai setahun yang lalu. Saya membongkar kotak tersebut, dan bercecerlah ratusan uang logam, mulai dari 100 rupiah sampai 1000 rupiah. Bersama suami saya membereskan uang-uang tersebut. dan ternyata jumlahnya cukup banyak. Sambil bingung juga mau diapakan receh sebanyak itu.
Sejenak saya merenung, betapa jauhnya rupiah telah turun, uang logam yang saya miliki sekarang jika dibandingkan dengan uang logam ketika saya SD tentu jauh berbeda. Jika dulu saya memiliki uang sebanyak ini mungkin saya sudah bisa membeli kendaraan bermotor pada saat itu. Bahkan nenek saya membeli tanah hanya dengan 20.000 rupiah ketika Indonesia baru saja merdeka.
Sekarang nilai arti uang-uang koin seperti ini sangat rendah, uang koin biasanya hanya digunakan untuk membayar tol, atau memberi pengemis, nilai uang koin seakan hanya menjadi uang 'yang tidak dibutuhkan'.
Saya tiba-tiba bertekad akan mengenalkan uang kepada anak saya, agar dia bisa menghargai berapa rupiah pun yang ia miliki, dan dia tahu berapapun rupiahnya semua didapat dari bekerja, tidak dari memungut ataupun nemu. Semuanya harus bekerja untuk mendapat kan uang pada mulanya.
Dan sekarang pun saya masih bingung memandangi tumpukan koin yang sudah rapi, bagaimana bisa saya mengabaikannya selama ini.
ANONIM
Saya tidak tahu tulisan ini didasari formula rasa apa
yang saya tahu, rasa kecewa begitu saja datang tanpa bisa dicegah, entah efek kehamilan saya yang orang-orang bilang mengundang 200% tingkat sensitif dibanding dengan ketika masa sebelum hamil.
Tapi yang selama ini saya rasakan, kehamilan saya tidak pernah memberikan efek sensitif ataupun efek buruk yang lainnya, keculai efek mual muntah pada 3 bulan pertama.
Saya tetap enjoy ketika segalanya tidak sejalan dengan keinginan saya, saya tetap bisa menerima bahkan ketika suami saya lebih membela apa yang saya anggap salah, atau ketika seorang teman memaksakan pendapatnya bahwa ngidam itu bawaan 'setan', saya tetap berlapang dada dalam menyikapi segala hal dan pola pikir yang orang lain argumenkan kepada saya.
Dan bagi saya kehamilan adalah anugerah yang tidak sepantasnya menjadi kambing hitam kemarahan seorang wanita yang mengandung, ataupun menjadi tumpuan keluh kesah atas segala rasa yang tidak sesuai dengan hatinya, kehamilan terlalu berharga bagi saya untuk semua itu.
Tapi ketika seorang memberikan peran "Anonim" untuk saya, rasanya saya amat sangat kecewa. Menurut saya, nama Septi, atau Yuliana, atau nama kecil saya Yuyun, bukanlah hal yang sulit di ucapkan atau dituliskan, tidak sesusah nama seorang teman seperti Kosoluchukwu Onyemelukwe, atau Zwygth yang agak membuat lidah keseleo saat mengucapkan namanya. tapi entah kenapa nama semudah yang diberikan oleh ibu saya sepertinya sangat sulit dia ucapkan atau tuliskan sehingga dia harus menggunakan kata 'dia' atau 'istrimu' saat menyebutkan saya.
Bagaimanapun bagi saya dia adalah seorang sahabat yang baik pada mulanya. Justru itulah yang membuat saya kecewa, saya tetap mengganggapnya sahabat sampai kapanpun, tapi baginya saya adalah tiada, tidak pernah nampak, blur, buram, atau bahkan luntur seperti cairan sabun ditelan air. Tidak mengapa setiap orang memiliki hak untuk menggangap kita sebagai apa.
Hanya saja, saya tidak bisa menghindarkan rasa kecewa.
Lama sekali saya berfikir, apa yang membuatnya begitu berubah kepada saya. Tapi sayangnya saya tidak mau memposisikan diri saya menjadi seseorang yang terus mengukung diri sendiri dengan seluruh masalah imajinernya. Saya pernah memposisikan diri menjadi orang yang amat sangat saya benci, amat sangat saya cemburui, tapi hasilnya saya justru mampu merasakan apa rasanya menjadi dia, lama-lama saya mengerti tentang dia, bahkan saya jadi merasa sayalah dia. Atau memposisikan diri saya menjadi orang yang pernah saya cintai sebelumnya, saya merasakan apa yang dia rasakan, dan lama-lama saya merasa prihatin menjadi dia, betapa sulit menjadi dia selama dia mencintai saya, dan akhirnya saya mengerti bahwa mencintai bukanlah hal yang mudah selama orang yang kita cintai tidak pernah menoleh kepada kita.
Dari itu semua saya belajar mensyukuri apapun yang ada dalam diri saya sekarang, memiliki suami yang mencintai dan saya cintai sepenuh hati. Dan syukur yang selalu saya ucap hampir disetiap nafas saya, syukur yang tak terkira karena menjelang beberapa bulan lagi keluarga ini menjadi sempurna, dengan hadirnya little junior (insyAllah).
Dan lagi-lagi saya pahami, untuk mengerti orang lain, bahkan orang yang kita benci, kita perlu menyelami diri mencoba merasakan menjadi posisinya, memahami apa yang terjadi sebenarnya, kadang-kadang memang kita perlu terjun dan jadi basah untuk tahu air.
Tapi kali ini, saya tidak bisa memposisikan diri saya menjadi dia, masalah imajiner yang dia ciptakan memberi batasan kepada saya, karena saya tidak pernah mengimajinasikan sebuah masalah sepele menjadi sebuah kerumitan antar plenet otak dan hati yang tidak mampu ditembus dengan logika.
Salah satu cara menghentikan seluruh kegalauannya, berhentilah berimajinasi dengan setumpuk kesalahpahaman yang diciptakan diri sendiri, demi memuaskan diri sendiri agar merasa menjadi orang yang paling sengsara dan nelangsa.
Bagaimana seseorang terus menerus meratapi sebuah kata bernama takdir. Akal kita tidak akan pernah sampai kepada ilmu yang memang Tuhan telah tetapkan. Bagaimana bisa saya tahu bahwa takdir saya adalah dijodohkan dengan suami saya. bagaimana saya tahu jika sekedar sms yang mungkin amat sangat sederhana menanyakan 'ini siapa?' akan memberi tahu bahwa dialah jodoh saya, dan bagaimana bisa saya menghindari seorang jodoh, sedangkan jodoh itu sudah ditakdirkan seperti halnya kematian, dan kelahiran. Dan masihkan label 'Salah Saya' berlaku diantara kehendak Tuhan? haruskah kita merenungi nasib diri sendiri yang tak pernah mampu mengubah ketentuan Tuhan? Berhentilah berimajinasi, dan mulailah menerima bahwa 'Jodoh saya memang bukan dia'.
Seandainya dia menyadari bahwa tangan kami selalu terbuka, sesakit apapun hati saya hanya dengan kata 'maaf' sudah lumer seperti coklat dalam mangkuk tim.
Karena setahun lebih bersama suami saya, saya jauh lebih mengerti seperti apa dia, dan seperti apa sifatnya. sebab itu saya percaya sepenuhnya dengannya.
Semoga nama Septi menjadi mudah diucapkan setelahnya, semoga segala kebahagiaan yang kami miliki juga dia dapatkan.
Sabtu, 20 Juli 2013
When Love Is Blind part 2
Bab 2 Pertanyaan itu bernama “Kenapa?”
Tin-tin-tin!!
Klakson
mobil diluar pagar mengagetkan Ve. Terdengar suara pagar di buka dan terjadi
oborolan antara ibunya dengan Vino.
Ve bangkit
dari kursi didepan laptopnya. Sekali lagi diperhatikannya penampilan dirinya di
depan kaca. Pikirannya sebenarnya masih melambung jauh pada kata-kata Merry,
sekretaris dan administrasi di tempat mengajarnya.
“Mbak
ini jadwal mengajar untuk minggu ini, ada beberapa perubahan karena Pak Lukas
sedang ke Singapore.”
Ve
terbengong menatap selembar kertas ditangannya. Membaca berulang-ulang. Bukan
pada banyaknya kelas yang harus di isinya, tapi kenapa anak-anak di kelas Lukas
diserahkan kepadanya semua. Perjanjiannya kan tidak seperti ini. Bukankah dia
hanya perlu mengantikan Lukas hari jumat kemarin saja. Ve kembali mengingat
kata-kata terakhir bosnya.
“Apa kamu tidak ingin tahu kenapa aku
menyuruhmu menggantikan kelasku?”
Tok-tok-tok!!
“Ve..
Vino sudah menunggu.” Suara ibunya membuyarkan lamunan keduanya tentang ‘Kelas
Lukas’.
“Iya
bu, Ve segera keluar.” Teriak Ve sembari menyambar tas tangannya.
Ve keluar dan menemui Vino
diruangtamu.
“Hai…”
senyum Ve seringan mungkin.
“Hai
Ve, kamu cantik sekali.” Vino menyambut pelukan sesaat kekasihnya itu. Selalu
saja sama, Ve selalu bau coklat. Vino tahu Ve menggunakan parfum aroma coklat
sama seperti 6 tahun yang lalu, tak berubah, seperti perasaanya terhadap Ve.
Tak berubah sedikitpun.
Mereka
berpamitan pada ibu Ve, dan beranjak pergi.
Mobil
Land Rover milik Vino terparkir dengan rapi. Pemiliknya sedang menggandeng
tangan Ve untuk masuk kedalam restoran. Mereka selesai nonton film, dan
sekarang Vino mengajak Ve dinner.
Ruangan
itu di dominasi warna biru paster, dengan suasana romantis, banyak bunga mawar
putih dimana-mana dan satu bunga terpajang manis dalam sebuah vas diatas meja
mereka. Ve sedikit bingung, dia berfikir mereka akan dinner di Bakmi GM seperti
biasanya atau sekedar Dejonns Café menghabiskan burger kesukaan Ve setelah dia
mengajar di hari sabtu.
Ve hanya
duduk pasrah ketika Vino meraih tangannya, mengecup sekilas dan menatapnya
dalam. Siapapun yang sedang dalam posisi diperlakukan seperti Ve tentu akan
sangat bahagia, dia bagaikan seorang putri dimata Vino dan Vino dengan sukarela
memperlakukannya selayaknya dialah bidadari terindah yang pernah ditemuinya
didunia ini. Suasana di tempat ini pun sangat mendukung, sejenak Ve larut dalam
perlakuan cinta Vino…
“Happy
Anniversary sayang,,, I Love U,,” Vino berkata lembut sembari menatapnya dengan
penuh cinta. Ve sendiri tersentak.
Apa? Hari
ini adalah hari jadian mereka? Kenapa Ve bisa lupa, kenapa Ve yang dulu selalu
heboh menyiapkan kejutan untuk Vino tapi sekarang justru lupa. ‘Ada apa denganku?’ batin Ve.
Ve
berusaha setenang mungkin, lalu tersenyum dengan manis.
“Makasih
ya Vin… happy Anniversary buat kita… I Love U Too…”
“Ternyata
kita sudah bersama selama 6 tahun ya… terimakasih sudah bersamaku selama itu..”
“Kamu
baik banget Vin sama aku selama ini, harusnya aku yang bilang begitu…” senyum
Ve.
“Aku
pikir kamu lupa… hehehe…” Jawab Vino polos.
‘Aku
memang lupa’ batin Ve.
“bagaimana
mungkin aku lupa… hehehehe..” jawab Ve sedikit salah tingkah.
‘Padahal
kamu memang lupa.’ Batin
Vino.
Sebelum
Ve keluar dari mobil, Vino kembali menggenggam jemarinya. Ve tersenyum,
terbesit rasa bersalah yang sangat dalam hatinya, bagaimana bisa dia melupakan
hari bersejarah yang telah 6 tahun di jalaninya bersama Vino, mungkin dia tidak
sengaja lupa, tapi tetap saja Ve merasa bersalah.
“Ve..
I Love U..” bisik Vino lembut.
“I
Love U Too..” balas Ve sambil memeluk Vino yang masih dibalik kemudi.
‘Maafkan
aku.’ Batin Ve berkali-kali.
Vino mengecup kening Ve dan
berbisik.
“Aku
punya hadiah buat kamu.”
Ve melepas pelukkannya.
“Hadiah
apa?” tanyanya penasaran.
“Ada
dibagasi mobil, ambil yuk.”
Keduanya turun dari mobil. Vino
membuka pintu bagasi.
“Wow!!
Aduh kasian sekali hadiahku di simpan di bagasi, kamu jahat…” Rengek Ve sedikit
manja.
“biar
surprise… “ jawab Vino sambil tersenyum jail.
Ve
mengambil sebuah aquarium mini berisi dua ekor kura-kura yang masih kecil. Ve
sangat suka kura-kura.
“Gimana
kamu suka?”
“Suka
banget, makasih ya…” Ve tersenyum manis dan mengecup pipi Vino. Wajah Vino
memerah, entah sudah berapa lama Ve tidak pernah melakukan hal demikian.
“Kalau
suka dirawat ya…”
“Siapp
komandan!” tangan Ve melayang ke pelipis kanannya. Dan tersenyum lepas. Sesaat
kemudian perhatian Ve sudah tersita oleh tingkah dua ekor kura-kura yang saling
hilir mudik kebingungan.
“Ya
udah, aku pulang dulu ya…”
“Hati-hati
dijalan ya Vin..” senyum Ve masih mengembang diwajahnya.
“Nice
sleep…” Vino memeluk Ve sebentar dan mengecupnya lembut.
Deru Land
Rover mulai tak terdengar lagi. Ve menghelai nafas memasuki kamarnya, ibunya
sudah tidur. Ve hanya tinggal berdua dengan ibunya. Sebuah kecelakaan mobil 12
tahun yang lalu membuatnya kehilangan sosok ayah dan kakaknya. Ibunya
adalah wanita yang memiliki sosok tegar
mengurusnya seorang diri.
Ve
kembali tersenyum menatap dua kura-kura yang baru saja menghuni sudut kosong
kamarnya. Ve membelai cangkang kura-kura dengan hati-hati, baru saja dia mau
mengambil seekor kura-kura, HPnya berbunyi nyaring. Buru-buru diangkatnya, pasti Vino batin Ve.
“Haloooo…”
sapanya riang tanpa memperhatikan siapa yang menelepon.
“Kamu
belum tidur.” Sapa suara diseberang sana.
Bukan
suara Vino, batin Ve. Seperti baru sadar Ve menjauhkan HPnya dari telinga dan
membaca sederet huruf di layar ponselnya.
è
l L U K A S
C’c
Deg!! Dada Ve mulai ribut.
“Mmmmm….
Belum. Ada apa? Tumben malam-malam telepon.” Jawabnya berusaha datar.
“Oh…
tidak… tidak ada apa-apa. Apakah keadaan kantor baik-baik saja?”
“Baik,
bukannya kamu baru sehari meninggalkan kantor?”
“Oh…
iya… aku hanya kawatir.”
“Oh..
ya…” Ve langsung teringat sesuatu. “ Apa maksudnya kamu menyuruhku
menggantikanmu selama seminggu?” suara Ve menantang.
“Kenapa?
Kamu keberatan?” suara Lukas terdengar enteng tanpa rasa bersalah. Ve
mengerutkan kening.
“Tapi
aku kan belum bilang iya atau tidak, mau atau tidak mau. Kenapa mendadak
menyerahkan tugas seperti itu.”
“Karena
aku ada urusan di Singapore, dan karena aku percaya padamu.”
Ve baru ingat, kata-kata Marry
selengkapnya. Bos mereka pergi ke Singapore selama seminggu.
‘Jadi… Lukas meneleponku dari Singapore?’ Ve membatin.
“Halo?
Kamu masih disana kan?” suara Lukas membuyarkan lamunan Ve.
“Ummm…
baiklah. Sebagai gantinya aku minta oleh-oleh paling banyak daripada yang
lain.”
‘Kamu
pikir aku liburan.’ Batin Lukas.
“Baiklah.
Ok. Sampai nanti.” Lukas menutup telepon. Ve melongo. “ Baiklah” katanya?? menyebalkan sekali.
Vino
masuk kedalam kamarnya, tersenyum sesaat, dan berubah dengan tertegun. Ve sudah
melupakan hari jadi hubungan mereka, dia tahu Ve berbohong dan pura-pura
mengingatnya. Dia juga menyadari betapa banyaknya perubahan dalam diri Ve.
‘Bosankah yang menjadi alasan?’ tanyanya
dalam hati. Tapi cepat-cepat ditepisnya pikiran buruk itu.
‘Ve tetap mencintaiku seperti 6 tahun yang
lalu.’ Katanya meyakinkah hati.
Vino
mengambil HP dan mencoba menghubungi Ve, tapi nada sibuk berkepanjangan yang
menjawab teleponnya. Vino mengerutkan kening, dan menoleh ke arah jam digital
ditangannya, pukul 22.17. Ve menelepon siapa malam-malam begini?
Ve
mengigit roti dan meminum susu dengan terburu-buru.
“Ya
ampun Ve, pelan-pelan!”
“Buru-buru
bu.” Ve terus mengunyah sambil membereskan kertas-kertas yang berserakan dimeja
makan. Dia hampir telat mengajar.
“Sudah
seminggu ini kamu terburu-buru ketika berangkat dan pulang agak malam.”
“Iya
bu, bosku pergi keluar negeri, jadi aku harus menggantikan kelasnya.”
“Kenapa
kamu tidak belajar menyetir saja, Corolla ayahmu sudah lama menganggur. Kalau
kamu naik angkot tentu saja membuatmu terlambat.”
Ve
tertegun, mengingat mobil kesayangan ayahnya yang selama ini hanya berada di
garasi. Tapi setiap kali mengingat kejadian 12 tahun yang lalu, saat ayahnya
merasa lelah menyetir dan kakaknya menggantikan menyetir, kecelakaan itu
terjadi. Ve merasa takut untuk belajar menyetir. Tapi mungkin ibu benar, batinnya.
“Iya
bu, terimakasih sarannya. Aku akan coba belajar. Ve berangkat dulu ya bu.” Ve
mencium tangan ibunya.
“Hati-hati.”
Ve bergegas berangkat, sebelum
macet membuatnya semakin terlambat masuk kelas.
Langganan:
Postingan (Atom)